Rabu, 08 Februari 2012

SYEH NAWAWI AL BANTANIY

NAWAWI AL-JAWI, SYEKH (Banten Jawa Barat, 1230 H/1813 M-Makkah, 1314 H/1897 M). Seorang ulama besar penulis dan pendidik dari Banten, Jawa Barat, yang bermukim di Makkah. Nama aslinya adalah Nawawi Bin Umar Bin Arabi. Ia disebut juga Nawawi Al-Bantani.
Di kalangan keluarganya, Syekh Nawawi Al Jawi dikenal dengan sebutan Abdul Mu’ti. Ayahnya bernama KH. Umar Bin Arabi, seorang ulama dan penghulu di Tanara Banten. Ibunya Jubaidah, penduduk asli Tanara. Dari silsilah keturunan ayahnya, Syekh Nawawi merupakan salah satu keturunan Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin), putra Maulana Syarif Hidayatullah.
Syekh Nawawi terkenal sebagai salah seorang ulama besar di kalangan umat Islam internasional. Ia dikenal melalui karya-karya tulisnya. Beberapa julukan kehormatan dari Arab Saudi, Mesir dan Suriah diberikan kepadanya, seperti Sayid ulama A-Hedzjaz, Mufti dan Fakih. Dalam kehidupan sehari-hari ia tampil dengan sangat sederhana. Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, fikih dan ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada kyai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib Al-Hanbali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia.
Di tempat kelahirannya ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Makkah setelah 3 tahun berada di Tanara dan menuruskan belajarnya di sana. Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia. Beliau menetap di sana hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 25 Syawal 1314 H atau tahun 1897 M. Beliau wafat dalam usianya yang ke-84 tahun di tempat kediamannya yang terakhir yaitu kampung Syiib Ali Makkah (Depag, 1992: 423). Jenazahnya dikuburkan di pekuburan Ma’la, Makkah, berdekatan dengan kuburan Ibnu Hajar dan Siti Asma Binti Abu Bakar Shiddiq. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan Minhaj Ath-Thalibin-nya Iman Yahya bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jama’ah bin Hujam An-Nawawi (Hasan, 1987: 39).
Menurut catatan sejarah di Makkah ia berupaya mendalami ilmu-ilmu agama dari para gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni dan Syekh Abdul Hamid Dagastani. Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih kurang 30 tahun, Syekh Nawawi setiap hari mengajar di Masjidil Haram. Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Indonesia, seperti KH. Khalil (Bangkalan, Madura), KH. Asy’ari (Jombang, Jawa Timur). Ada pula yang berasal dari Malaysia, seperti KH. Dawud (Perak). Ia mengajarkan pengetahuan agama secara mendalam kepada murid-muridnya, yang meliputi hampir seluruh bidang. Di samping membina pengajian, melalui murid-muridnya, Syekh Nawawi memantau perkembangan politik di tanah air dan menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia.
Di Makkah ia aktif membina suatu perkumpulan yang disebut Koloni Jawa, yang menghimpun masyarakat Indonesia yang berada di sana. Aktivitas koloni Jawa ini mendapat perhatian dan pengawasan khusus dari pemerintahan kolonial Belanda. Syekh Nawawi memliki beberapa pandangan dan pendirian yang khas. Diantaranya, dalam menghadapi pemerintahan kolonial, ia tidak agresif atau reaksioner. Namun demikian ia sangat anti bekerja sama dengan pihak kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka mengarahkan perhatiannya pada pendidikan, membekali murid-muridnya dengan jiwa keagamaan dan semangat untuk menegakkan kebenaran. Adapun terhadap orang kafir yang tidak menjajah, ia membolehkan umat Islam berhubungan dengan mereka untuk tujuan kebaikan dunia. Ia memandang bahwa semua manusia adalah saudara, sekalipun dengan orang kafir. Ia juga menganggap bahwa pembaharuan dalam pemahaman agama perlu dilakukan untuk terus menggali hakikat kebenaran.
Dalam menghadapi tantangan zaman, ia memandang umat Islam perlu menguasai berbagai bidang keterampilan atau keahlian ia memahami “Perbedaan Umat adalah Rahmat” dalam konteks keragaman kemampuan dan persaingan untuk kemajuan umat Islam. Dalam bidang syariat, ia mendasarkan pandangannya pada Al-Qur’an, Hadist, Ijmak, dan Qiyas. Ini sesuai dengan dasar-dasar syari’at yang dipakai oleh Iman Syafi’i. Mengenai Ijtihad dan Taklid, ia berpendapat bahwa yang termasuk Mujtadhid (ahli ijtihad) mutlak ialah Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Hambali. Bagi mereka haram bertaklid, sedangkan orang-orang selain mereka, baik sebagai mujtahid Fi-Al Mazhab, Mujtahid Al-Mufti, maupun orang-orang awam/ masyarakat biasa, wajib taklid kepada salah satu mazhab dari mujtahid mutlak. Kelebihan Syekh Nawawi telah terlihat sejak kecil. Ia hafal Al-Qur’an pada usia 18 tahun. Sebagai seorang syekh, ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh, dan bahasa Arab. Pendirian-pendiriannya, khususnya dalam bidang ilmu kalam dan fikih, bercorak Ahlusunnah Waljama’ah. Keahliannya dalam bidang-bidang ilmu tersebut dapat dilihat melalui karya-karya tulisnya yang cukup banyak. Menurut suatu sumber, ia mengarang kitab sekitar 115 buah, sedangkan menurut sumber lain sekitar 99 buah, yang terdiri berbagai disiplin ilmu agama.
Di antara karangannya, dalam bidang tafsir ia menyusur kitab Tafsir Al-Munir (yang memberi sinar). Dalam bidang hadist, kitab Tanqih Al-Qoul/meluruskan pendapat (Syarah Lubab Al Hadist, As-Suyuti). Dalam bidang tauhid, diantaranya kitab Fath Al-Majid/pembuka bagi yang mulia (Syarah Ad-Durr Al-Farid Fi Al-Tauhid, Al Bajuri) yang berisi penjelasan tentang masalah tauhid. Dalam bidang fikih, diantaranya kitab Sullam Al Munajah/tangga untuk mencapai keselamatan (Syarah Safinah As-Salah), At-Tausyih (Syarah Fath Al-QaribAl-Mujib, ibnu Qosun Al-Gazi) yang menguraikan masalah-masalah fikih dan nihayah Az-Zen. Dalam bidang politik atau tasawuf, diantaranya kitab salalim al-fudala’/tangga bagi para ulama terpandang (Syarah Manzumah Hidayah Al-Azkiya’) Misbah Az-Zalam (penerang kegelapan), dan Bidayah Al-Hidayah. Dalam bidang tarikh, diantaranya kitab al-Ibriz Ad-Dani (emas yang dekat), Bugyah Al-Awam (kezaliman orang awam)dan Fathu As-Samad (kunci untuk mencapai yang maha memberi). Dalam bidang bahasa dan kesustraan, di antara kitab Fathu Gafir Al-Khatiyyah (Kunci untuk mencapai pengampunan kesalahan). Beberapa keistimewaan dari karya-karyanya telah ditemukan oleh peneliti, diantaranya kemampuan menghidupkan isi karangan sehingga dapat dijiwai oleh pembacanya, pemakaian bahasa yang mudah dipahami sehingga mampu menjelaskan istilah-istilah yang sulit dan keluasan isi karangannya. Buku-buku karangannya juga banyak digunakan di Timur Tengah (Aziz, 1994: 23-25).
Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud). Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari . Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah.
Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab ( semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi. Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al- Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihulbergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba- tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinarterang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi. Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la).
Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.
dari :
http://id.shvoong.com/books/biography/2215840-riwayat-hdup-syaikh-nawawi-al/ http://abenktrix.heck.in/sejarah-syekh-nawawi-tanara-al-bantani.xhtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar