Muallim Syafi’i panggilan tersebut akrab di telinga murid-murid
beliau. Kedalaman ilmu serta ketawadhuan beliau memang pantas rasanya bila
KH.Syafi’i Hadzami mendapat julukan Muallim Jakarta, sejak muda beliau gemar
sekali menuntut ilmu dan tak pernah merasa puas terhadap ilmu yang beliau
miliki, maka tak heran bila beliau menguasai beberapa fan ilmu seperti Ilmu
Fiqih, ilmu Falaq, ilmu Hadist , Ilmu Tauhid dan berbagai disiplin ilmu-ilmu
lainnya. Salah satu Guru beliau yang sangat beliau Hormati adalah Syech
Muhammad Yasin bin Isa Al Fadani seorang Ulama terkemuka dari Mekkah yang
bergelar Musnidud Dunya, dan guru- guru beliau lainnya adalahKyai Husain, K.H.
Abdul Fattah, Ustaz Sholihin,Habib Ali Bungur, Habib Ali alhabsyi kwitang K.H.
Ya’qub Sa`idi.
Beliau Bernama Muhammad Syafi”i putra Bewati lahir pada tgl 31 jan
1931 ayahnya bernama Muhammad Saleh Raidi, gelar Hadzami diberikan oleh
guru-guru dan para Ulama karena kedalaman ilmu yang beliau miliki dalam
memahami serta menjelaskan masalah-masalah yang tergolong rumit untuk dipahami
dan Muallim Syafi’i dengan mudah menjelaskan masalah-masalah tersebut dengan
berbagai sumber referensi yang beliau miliki.
Muallim Syafi’i mengajar dibeberapa majlis ta’lim di Jakarta bahkan
menurut penuturan murid beliau sebelum meninggalpun Muallim Syafi’i Hadzami
masih sempat mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad pondok pinang jakarta
selatan,Majlis -majlis ta’limnya tak pernah sepi selalu dipadati oleh jamaah
yang berasal dari berbagai kawasan Jabotabek bukan hanya dari kalangan umum
saja yang mendatangi majlis beliau bahkan Para Ulama serta para Asaatidz turut
hadir dalam menimba ilmu dari beliau.
Waktu yang begitu berharga tidak beliau sia-siakan untuk hal hal
yang tidak berguna, beliau pergunakan seluruh waktunya untuk mengajar dan
membimbing umat, dan salah satu bentuk ketawadhuan beliau adalah beliau selalu
menganggap guru terhadap para ulama dan para Habaib walaupun kapasitas keilmuan
yang beliau miliki melebihi para ulama dimasanya. Beliau tekun selalu membaca
dan menelaah kitab-kitab, karya beliau yang termashur adalah Kitab Al Hujjalul
Bayyinah , Kitab Sullamul’arsy fi Qiraat Warasy yang berisi tentang Kaedah
Bacaan Alquran Imam Warasy,Kitab Taudhihul Adillah , 100 masalah Agama,Risalah
sholat tarawih, risalah Qoblyah Jum’at.
Karisma keulamaan yang tampak dalam diri Muallim Syafi’i memancar ,
beliau bukan saja dikenal di indonesia tapi kedalaman ilmu beliau juga dikenal
di luar negri seperti di Mekkah dan Hadromaut Tarim.Beliua juga sering mendapat
kunjungan dari beberapa ulama Tarim seperti Alalamah Habib Umar bin Hafidz
pengasuh pon-pes Darul Musthofa Tarim Hadromaut.
Ba’da mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad tepatnya tanggal 07
may2006 beliau merasakan nyeri di dada dan sesak napasnya, hingga akhirnya Muallim
Syafi’i dilarikan kerumah sakit RSPP pertamina namun ditengah perjalanan Alloh
SWT memanggilnya untuk kembali menghadapnya, retak agama….rengat agama…dengan
meninggalnya orang alim….linangan air mata mengalir dari murid-murid serta
orang-orang yang mencintai beliau ,ribuan orang berdatangan kerumah beliau
untuk mensholati bahkan menurut penuturan murid beliau yang mensholati jenazah
Muallim Syafi’i tak putus-putus dari pagi hingga malam hari.
Nama
dan Masa Kecil Mu’allim
Beliau di lahirkan dengan nama “Muhammad syafi’I bih M. Sholeh Raidi, di daerah Batu Tulis, Kebayoran, Jakarta Selatan. Beliau dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1931, atau bertepatan dengan 12 Romadhon 1349 H. Beliau mempunyai 8 orang saudara kandung, tetapi karena salah satu meninggal dunia ketika masih kecil, mu’allim hanya memiliki 7 orang saudara saja.
Pendidikan Mu’allim
Sejak masih kecil, mu’allim tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Tapi beliau tinggal bersama kakeknya yaitu, bpk. Husin, di daerah Pecenongan. Beliau, sebagai mana lazim orang betawi dahulu, memanggil kakeknya dengan sebutan jid. Dan di dalam asuhan kakeknyalah mu’allim mendapatkan didikan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu al-qur’an beserta tajwidnya. Sehingga tak heran pada usia 9 tahun, mu’allim berhasil mengkhatamkan al-qur’an serta mengajar kawan-kawannya. Dan kakeknya pula lah, yang berhasil menanamkan kegemaran dan kecintaan mu’allim kecil terhadap ilmu agama. Sehingga beliau tumbuh, sebagai pribadi yang menggemari ilmu agama.
Memburu Ilmu, Mengejar Guru
Sebagai mana diberitahukan sebelumnya, mu’allim sejak kecil, adalah sosok yang sangat menggemari ilmu agama. Hal ini dibuktikan dengan pengembaraannya untuk menuntut ilmu. Meskipun cakupannya hanya di wilayah Jakarta saja, namun tidak berarti semuanya berlangsung biasa saja. Banyak sekali hal yang patut kita jadikan sebagai bahan renungan, mulai dari metode belajar beliau maupun startegi yang beliau lakukan dalam menuntut ilmu (untuk lebih jelas bisa dibaca di biografi beliau “Sumur yang Tak Pernah Kering”, terbitan Yayasan Al-‘Asyirotusy Syafi’iyah). Beliau juga beruntung karena mendapatkan ulama terkemuka di zamannya sebagai gurunya. Dan istimewanya, beliau pun mendapatkan tempat khusus di hati para gurunya. Berikut daftar para ulama ridhwanullaha ‘alaihim yang memberikan pendidikan kepada al-mu’allim :
* K.H. Sa’idan
* Syd Ali bin Husein al-Athas (Habib Ali Bungur)
* Syd Ali bin Abd Rohman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang)
* K.H. Mahmud Romli
* K.H. Ya’kub Sa’idi
* K.H. Muhammad Ali Hanafiyyah
* K.H. Mukhtar Muhammad
* K.H. Muhammad Sholeh Mushonnif
* K.H. Zahruddin Utsman
* Syekh Yasin bin Isa al-Fadani
* K.H. Muhamad Thoha
* Dan ulama lainnya.
Aktivitas Mengajar Mu’allim (Sumur yang Tak Pernah Kering)
Buah dari kerja keras mu’allim menuntut ilmu ke banyak ulama di Jakarta, mulai terlihat. Majlis ta’lim nya tersebar di lima wilayah ibu kota, bahkan sampai merambah ke daerah Jawa Barat. Apabila di total, aktivitas mengajar mu’allim menyebar sampai ke lebih dari 30 majlis ta’lim. Itu berarti tiap harinya mu’allim mesti mengajar di 4-5 tempat, dengan murid yang berbeda dan juga kitab yang berbeda. Subhanallah. Yang lebih hebat lagi, majlis mu’allim tidak hanya dihadiri oleh kalangan umum saja. Tidak sedikit para kyai serta asatidz yang berdatangan untuk menimba ilmu di sumur yang tak pernah kering itu. Dari sekian banyak majlisnya itu, ada satu yang melalui media radio, yang ketika itu berlangsung di Radio Cendrawasih. Pangajian udara inilah, yang nantinya membidani lahirnya karangan Mu’allim yang fenomenal, yaitu kitab “Taudhihul Adillah (1-7)”.
Buah Karya Mu’allim
Kita patut menyambut gembira kehadiran karya-karya Mu’allim yang manfaatnya telah banyak diakui oleh banyak orang, baik dari kalangan ulama maupun orang awam. Hingga kini, sudah puluhan karya yang telah dihasilkan Mu’allim. Pada umumnya karya beliau (kecuali Kitab Taudhihul Adillah) berupa risalah-risalah kecil. Berikut penulis sampaikan beberapa karya mu’allim beserta sedikit ringkasannya.
* Taudhihul Adhillah
Judul buku ini, yaitu Taudhihul Adhillah (menjelaskan dalil-dalil) , benar-benar tepat menggambarkan isi buku tersebut. Seperti diberi tahukan sebelumnya, kelahiran kitab ini bermula dari acara Tanya jawab agama yang diasuh oleh Mu’allim di Radio Cendrawasih. Menurut mu’allim kitab ini adalah kitab yang tidak perlu capaek-capek dalam membuatnya, karena kitab ini adalah “rekaman” dari Tanya jawab tersebut. Kitab ini (dari jilid I s/d VII) telah berkali-kali di cetak ulang. Peredarannya pun bukan hanya di Indonesia tetapi juga sampai merambah ke negeri Jiran dan beberapa Negara Timur Tengah.
* Risalah Qobliyah Jum’at
Risalah ini membahas tentang kesunnatan Qobliyyah Jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam risalah ini dikemukakan nash-nash Al-Qur’an, hadits, dan pendapat para fuqoha’ (ahli fiqih).
* Risalah Sholat Tarawih
Untuk memenuhi hajat kaum muslimin akan penjelasan tentang sholat tarawih, disusunlah risalah ini. Di dalamnya dijelaskan dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama (termasuk imam mujtahid) yang berkaitan dengan sholat tarawih. Mulai dari pengertiannya, ikhtilaf tentang jumlah roka’atnya, cara pelaksanaannya, dll dibahas dalam kitab ini.
Beliau di lahirkan dengan nama “Muhammad syafi’I bih M. Sholeh Raidi, di daerah Batu Tulis, Kebayoran, Jakarta Selatan. Beliau dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1931, atau bertepatan dengan 12 Romadhon 1349 H. Beliau mempunyai 8 orang saudara kandung, tetapi karena salah satu meninggal dunia ketika masih kecil, mu’allim hanya memiliki 7 orang saudara saja.
Pendidikan Mu’allim
Sejak masih kecil, mu’allim tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Tapi beliau tinggal bersama kakeknya yaitu, bpk. Husin, di daerah Pecenongan. Beliau, sebagai mana lazim orang betawi dahulu, memanggil kakeknya dengan sebutan jid. Dan di dalam asuhan kakeknyalah mu’allim mendapatkan didikan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu al-qur’an beserta tajwidnya. Sehingga tak heran pada usia 9 tahun, mu’allim berhasil mengkhatamkan al-qur’an serta mengajar kawan-kawannya. Dan kakeknya pula lah, yang berhasil menanamkan kegemaran dan kecintaan mu’allim kecil terhadap ilmu agama. Sehingga beliau tumbuh, sebagai pribadi yang menggemari ilmu agama.
Memburu Ilmu, Mengejar Guru
Sebagai mana diberitahukan sebelumnya, mu’allim sejak kecil, adalah sosok yang sangat menggemari ilmu agama. Hal ini dibuktikan dengan pengembaraannya untuk menuntut ilmu. Meskipun cakupannya hanya di wilayah Jakarta saja, namun tidak berarti semuanya berlangsung biasa saja. Banyak sekali hal yang patut kita jadikan sebagai bahan renungan, mulai dari metode belajar beliau maupun startegi yang beliau lakukan dalam menuntut ilmu (untuk lebih jelas bisa dibaca di biografi beliau “Sumur yang Tak Pernah Kering”, terbitan Yayasan Al-‘Asyirotusy Syafi’iyah). Beliau juga beruntung karena mendapatkan ulama terkemuka di zamannya sebagai gurunya. Dan istimewanya, beliau pun mendapatkan tempat khusus di hati para gurunya. Berikut daftar para ulama ridhwanullaha ‘alaihim yang memberikan pendidikan kepada al-mu’allim :
* K.H. Sa’idan
* Syd Ali bin Husein al-Athas (Habib Ali Bungur)
* Syd Ali bin Abd Rohman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang)
* K.H. Mahmud Romli
* K.H. Ya’kub Sa’idi
* K.H. Muhammad Ali Hanafiyyah
* K.H. Mukhtar Muhammad
* K.H. Muhammad Sholeh Mushonnif
* K.H. Zahruddin Utsman
* Syekh Yasin bin Isa al-Fadani
* K.H. Muhamad Thoha
* Dan ulama lainnya.
Aktivitas Mengajar Mu’allim (Sumur yang Tak Pernah Kering)
Buah dari kerja keras mu’allim menuntut ilmu ke banyak ulama di Jakarta, mulai terlihat. Majlis ta’lim nya tersebar di lima wilayah ibu kota, bahkan sampai merambah ke daerah Jawa Barat. Apabila di total, aktivitas mengajar mu’allim menyebar sampai ke lebih dari 30 majlis ta’lim. Itu berarti tiap harinya mu’allim mesti mengajar di 4-5 tempat, dengan murid yang berbeda dan juga kitab yang berbeda. Subhanallah. Yang lebih hebat lagi, majlis mu’allim tidak hanya dihadiri oleh kalangan umum saja. Tidak sedikit para kyai serta asatidz yang berdatangan untuk menimba ilmu di sumur yang tak pernah kering itu. Dari sekian banyak majlisnya itu, ada satu yang melalui media radio, yang ketika itu berlangsung di Radio Cendrawasih. Pangajian udara inilah, yang nantinya membidani lahirnya karangan Mu’allim yang fenomenal, yaitu kitab “Taudhihul Adillah (1-7)”.
Buah Karya Mu’allim
Kita patut menyambut gembira kehadiran karya-karya Mu’allim yang manfaatnya telah banyak diakui oleh banyak orang, baik dari kalangan ulama maupun orang awam. Hingga kini, sudah puluhan karya yang telah dihasilkan Mu’allim. Pada umumnya karya beliau (kecuali Kitab Taudhihul Adillah) berupa risalah-risalah kecil. Berikut penulis sampaikan beberapa karya mu’allim beserta sedikit ringkasannya.
* Taudhihul Adhillah
Judul buku ini, yaitu Taudhihul Adhillah (menjelaskan dalil-dalil) , benar-benar tepat menggambarkan isi buku tersebut. Seperti diberi tahukan sebelumnya, kelahiran kitab ini bermula dari acara Tanya jawab agama yang diasuh oleh Mu’allim di Radio Cendrawasih. Menurut mu’allim kitab ini adalah kitab yang tidak perlu capaek-capek dalam membuatnya, karena kitab ini adalah “rekaman” dari Tanya jawab tersebut. Kitab ini (dari jilid I s/d VII) telah berkali-kali di cetak ulang. Peredarannya pun bukan hanya di Indonesia tetapi juga sampai merambah ke negeri Jiran dan beberapa Negara Timur Tengah.
* Risalah Qobliyah Jum’at
Risalah ini membahas tentang kesunnatan Qobliyyah Jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam risalah ini dikemukakan nash-nash Al-Qur’an, hadits, dan pendapat para fuqoha’ (ahli fiqih).
* Risalah Sholat Tarawih
Untuk memenuhi hajat kaum muslimin akan penjelasan tentang sholat tarawih, disusunlah risalah ini. Di dalamnya dijelaskan dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama (termasuk imam mujtahid) yang berkaitan dengan sholat tarawih. Mulai dari pengertiannya, ikhtilaf tentang jumlah roka’atnya, cara pelaksanaannya, dll dibahas dalam kitab ini.
Wafatnya Mu’allim
Pada pagi hari, ahad 7 Mei 2006, selepas Mu’allim mengajar di Masjid Pondok Indah, beliau mengeluh sakit pada jantungnya. Akhirnya dalam perjalanan menuju RSPP Pertamina, beliau kembali berpulang ke pangkuan Allah dengan Husnul Khotimah. Banyak para muridnya yang terkejut mendengar berita tersebut. Tak hentinya mereka datang ke kediaman Mu’allim di daerah Kebayoran, untuk mensholati dan mendo’akan kepergian beliau. Bahkan disebutkan sholat jenazah dilakukan tak putusnya mulai dari siang sampai malam hari. Sungguh ketika itu Ummat Islam, khususnya di Indonesia telah kehilangan putra terbaiknya.
Pada pagi hari, ahad 7 Mei 2006, selepas Mu’allim mengajar di Masjid Pondok Indah, beliau mengeluh sakit pada jantungnya. Akhirnya dalam perjalanan menuju RSPP Pertamina, beliau kembali berpulang ke pangkuan Allah dengan Husnul Khotimah. Banyak para muridnya yang terkejut mendengar berita tersebut. Tak hentinya mereka datang ke kediaman Mu’allim di daerah Kebayoran, untuk mensholati dan mendo’akan kepergian beliau. Bahkan disebutkan sholat jenazah dilakukan tak putusnya mulai dari siang sampai malam hari. Sungguh ketika itu Ummat Islam, khususnya di Indonesia telah kehilangan putra terbaiknya.
KH.Syafi’i
Hadzami mendapat julukan Muallim Jakarta,
sejak muda beliau gemar sekali menuntut ilmu dan tak pernah merasa puas
terhadap ilmu yang beliau miliki, maka tak heran bila beliau menguasai beberapa
fan ilmu seperti Ilmu Fiqih, ilmu Falaq, ilmu Hadist , Ilmu Tauhid dan berbagai
disiplin ilmu-ilmu lainnya. Salah satu Guru beliau yang sangat beliau Hormati
adalah Syech Muhammad Yasin bin Isa Al Fadani
seorang Ulama terkemuka dari Mekkah yang bergelar Musnidud
Dunya, dan guru- guru beliau lainnya adalahKyai Husain, K.H. Abdul
Fattah, Ustaz Sholihin,Habib Ali Bungur, Habib Ali alhabsyi kwitang K.H. Ya’qub
Sa`idi.
Penggambarannya
untuk memburu ilmu-ilimu agama hanya terbatas di wilayah Jakarta. Ini berbeda
dengan kebanyakan perjalanan intelektual ulama-ulama terkenal lainnya yang
menuntut ilmu ke beberapa tempat. Syafi’i Hadzami tidak pernah menempuh
pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur
Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang ini masih hidup di kalangan
masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi
Syafi’i Hadzami. Dapatlah dikatakan bahwa selain tempat ibadah, masjid juga
berfugsi sebagai tempat mengajarkan dan menyebarkan Islam.
Tradisi mengajar agama di masjid sebenarnya
bukanlah hal yang baru. Kebiasaan ini dapat ditemukan di hampir seluruh dunia
Islam, khususnya di dua masjid utama di tanah suci, Makkah dan Madinah, yang
dianggap oleh umumnya muslim Asia Tenggara abad ke-17 sebagai pusat kosmik dan
sumber ilmu.
Namun kemantapan hatinya, ketekunan, dan
kekerasan usahanya, yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian
akhlaq, dan kederdasan otaknya, telah mengantarkan Syafi’i Hadzami meraih
keberhasilan yang patut dibanggakan, setara dengan ketinggian ulama lainnya.
Inilah kelebihan Syafi’i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda
dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan intelektual abad ke-16 – 21.
Dalam buku
biografinya yang ditulis oleh Ali Yahya (1999) disebutkan Syafi’i Hadzami tidak
membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuwan. Di
masa-masa awal, setelah mempelajari al Qur’an beserta tajwidnya dengan baik,
maka ilmu yang palin ditekuninya adalah tauhid. Fiqh, dan ilma alat (nahwu,
sharaf, dan balaghah). Berbagai kitab matan ia hafalkan,
terutama yang berbentuk nadzam. Khusus untuk ilmu-ilmu alat, ia
memberikan perhatian yang khusus. Penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat
menjadi prioritas utamanya di masa-masa awal. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa
pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan
sangat tergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang
mendalam tentang ilmu-ilmu alat barulah ia menekuni ilmu-ilmu lain, seperti
ilmu ushul fiqh beserta qawaidnya, mantiq, tafsir, ulumul hadis,
tasawuf, falak,’arudh dan lain sebagainya.
Jaringan Pengajian
Jaringan
intelektual yang didapat Syafi’i Hadzami dari guru-gurunya terbatas pada
jaringan ulama Betawi, yang dikenal sebagai masyarakat religius dan
mengandalkan masjid sebagai pusat intelektual. Namun demikian, Syafi’i
Hadzami memiliki jaringan intelektual ke atas (guru-gurunya), seperti KH. Mahmud Romli, (1866 M), KH Ahmad Marzuki (1876 M), yang berpuncak
pada dua ulama Haramain ternama abad ke-17; Ahmad
al-Qusyasyi dan Abdul Aziz al
Zamzami.
Beberapa ulama
yang dikunjungi Syafi’i Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus
memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. Syafi’i Hadzami sering diajak
datuknya untuk mengaji dan membaca dzikir di tempat Kyai Abdul Fatah (1884-1947 M) yang
dikenal sebagai pembawa Tarekat Idrisiyah
ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad
al-Syarif al-Sanusi di Makkah. Dari gurunya ini, ia mendapat doa
khusus. Waktu itu, ia ikut berdzikir bersama kelompok Tarekat Idrisiyah yang
dipimpin oleh Kyai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, Syafi’i Hadzami yang
masih belia pernah mengalami fana’ (lupa
dan hilang kesadaran diri) kerena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia
tidak ingat persis bagaimana situasiya saat itu. Maka kyai pun memberinya doa
khusus. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kyai. Kyai Abdul Fattah
mendoakan Syafi’i Hadzami agar kelak menjadi orang soleh.
Syafi’i Hadzami juga berguru kepada Pa Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Dalam mengajar, Pak Solihin tergolong keras dan disiplin, seperti kakeknya. Sebagai seorang yang telah ikut berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar dinamakam raudlatuh al sholihin.
Syafi’i Hadzami juga berguru kepada Pa Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Dalam mengajar, Pak Solihin tergolong keras dan disiplin, seperti kakeknya. Sebagai seorang yang telah ikut berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar dinamakam raudlatuh al sholihin.
Setelah mengaji
al Qur’an kepada guru-gurunya, Syafi’i Hadzami mengaji kepada Guru Sa’idan di
Kemayoran (1948 – 1995). Pada gurunya ini, ia belajar ilmu tajwid ilmu nahwu
dengan kitab pegangan mulhat al-i’rab, dan ilmu fiqh dengan kitab
pegangan al Tsimar al Yani’ah yang merupakan syarah dari kitab al
Riyadh al Badi’ah. Guru Saidan pula yang menyuruhnya belajar kepada kepada
guru-guru yang lainnya, misalnya Guru Ya’kub, Sa’idi (Kebon Sirih), Guru Khalid
(Gondangdia), dam Guru Abdul Madjid (Pekojan).
Salah satu guru
utama Syafi’i Hadzami adalah Habib Ali ibn
Husein al Atthas yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Kepadanya Syafi’i Hadzami
belajar lebih kurang 18 tahun, yaitu sejak 1958 – 1976. Seperti murid-murid
Habib Ali lainnya (KH. S. Muhammad ibn Ali al Habsyi, Habib Abdullah ibn
Abdul Qodir Bil Faqih, KH. Abdullah Syafi’i, KH. Tohir Romli, KH. Abdurrazaq
Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh), Syafi’i Hadzami juga datang dengan
membaca kitab dihadapan Habib Ali yang sering disebut dengan sistem sorogan.
Syafi’i
Hadzami juga rajin mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang).
Pada awalnya, ia diajak oleh kakeknya untuk menghadiri majlis yang bisa
diadakan setiap hari Ahad. Bahkan, dari Habib Ali inilah ia mendapat kata
pengantar berbahasa Arab dalam karyanya yang berjudul al Hajjat al
Bayyinah.
Guru Syafi’i
Hadzami yang lain adalah KH. Mahmud Ramli,
seorang ulama besar Betawi. Selama 6 tahun (1950-1956), ia mempelajari
kitab-kitab kuning, diantaranya Ihya Ulum ad Din, dan Bujayrimi. Selain
Syafi’i Hadzami, murid-murid Guru Romli yang menjadi ulama terkemuka di Jakarta
adalah KH. Abdullah Syafi’i, Thabrani Paseban,
dan lain-lain.
Syafi’i Hadzami
juga berguru kepada KH. Ya’kub Sa’di di Kebon Sirih.
Selama 5 tahun (1950-1955) ia telah mengkhatamkan kitab-kitab mantiq dan
ushuluddin, seperti kitab Idhah al Mubham, Darwis Quwaysini, dll.
Sedangkan dalam ilmu Nahwu, ia belajar kepada KH. Muhammad Ali Hanafiyah
seperti kitab; Kafrawi, Mulhat al i’rab dan Asymawi.
Beberapa guru
Syafi’i Hadzami lainnya adalah KH. Mukhtar
Muhammad (1953-1958), KH. Muhammad Shaleh
Mushannif, KH.
Zahruddin Utsman, Syaikh Yasin al Fadani, dan KH. Muhammad Thoha.
Jika dilihat
dari guru-gurunya ini, tampak sekali Syafi’i Hadzami belajar kepada para
ulama yang berasal dari luar Jakarta yang memiliki bobot intelektual yang luar
biasa. Namun demikian, tingkat keilmuwan Syafi’i Hadzami tidak kalah dengan
ulama-ulama lainnya yang hidup dalam generasi abad ke-20.
Sikap
Terhadap Pembaharuan
Dalam setiap
perubahan zaman, diperlukan suatu usaha baru untuk menafsirkan dan
menyelaraskan agama dengan tuntutan zaman. Karena itu, pembaharuan diyakini
sebagai cara untuk menyesuaikan agama agar tidak ketinggalan zaman. Inilah yang
diyakini KH. M. Syafi’i Hadzami, bahwa pembaharuan sangat diperlukan oleh
agama. Ini berarti ia tidak kaku dalam menyikapi perubahan dan perkembangan
yang terjadi. Ia tidak menjadikan pandangan hidupnya menjadi suatu sistem yang
tertutup dan kemudian memalingkan diri dari proses modernisasi.
Dalam menyikapi
pembaharuan pemahaman ajaran-ajaran agama, KH. M. Syafi’i Hadzami bersikap
cukup luwes dan tidak kaku. Dalam menghadapi gagasan-gagasan baru, ia tidak mau
langsungmenolak atau menyetujuinya tanpa menimbangnya terlebih dahulu dengan
pedoman syari’at. Jadi, pembaharuan dalam memahami agama bukan sesuatu yang
harus ditolak, asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang
memiliki persyaratan- persyaratan untuk itu. Pandangan ini didasarkan
pada teks hadis Nabi SAW bahwa setiap seratus tahun ada yang disebut mujaddid
(pembaharuan).
Dalam kehidupan
beragama ini ada mujaddid, yaitu orang-orang yang memperbaharui
pandangan-pandangan agama. Jadi, yang di perbaharui bukan agamanya, tetapi
pandangannya. Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila
memakai kacamata, apa yang dipandang akan menjadi lebih jelas. Padahal, objek
pandangannya sama saja. Jadi, bukan objeknya yang dirubah, melainkan alat untuk
memandangnya yang perlu diperbaharui. Itulah tugas seoarang mujaddid.
Karya terkenal KH. M. Syafi’i Hadzami adalah buku yang berjudul Tawdhih al Adillah, yang disusun acara tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cenderawasih. Hingga kini, sudah terbit dalam 7 (tujuh) jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang, yang peredarannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri jiran Malaysia.
1.
sumber : http://sachrony. wordpress. com/2008/ 02/20/khsyafii-
hadzami-sumur- yang-tak- pernah-kering/
http://jamaluddinab.blogspot.com/2011/01/khm-syafii-hadzami.htmlBIOGRAFI KH.SYAFI'I HADZAMI
sumber :
http://sachrony. wordpress. com/2008/ 02/20/khsyafii- hadzami-sumur- yang-tak-
pernah-kering/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar