Cimande adalah salah satu daerah di
Kecamatan Caringin yang merupakan tempat saya tinggal, meskipun bisa
dibilang baru beberapa tahun saya berada di wilayah caringin, ada
ketertarikan dimana sepintas saya berpikir bagaimana asal usul sejarah
cimande tersebut yang sekarang terkenal ke berbagai penjuru nusantara,
bahkan internasional…
saya sempat berbincang-bincang dengan
beberapa orang maupun tokoh masyarakat disana, memang ada beberapa versi
yang mengatakan tentang sejarah cimande ini, agak sulit bagi saya
menilai siapa yang paling akurat..
Keingintahuan saya tidak sampai disana, mungkin sampai sekarangpun belum “terpuaskan” jawaban-jawaban yang ada.
Internet merupakan salah satu pusat
informasi global, ada beberapa yang saya copy paste dari sana yaitu apa
yang saya sajikan dibawah ini, sebelumnya saya mohon ijin kepada
penyusun atau penulis yang secara gamblang menjelaskan cimande dimuat
dalam blog ini,… terlepas masih banyaknya versi-versi tentang cimande
diluar sana.. mudah-mudahan dapat bermanfaat dan dapat menjadi
referensi… kepada pembaca yang peduli maupun sesepuh cimande dapat
melengkapi maupun mengkoreksi ataupun mempelajari mengenai isi dari apa
yang tersaji.. sebagai ilmu yang bermanfaat..
Satu hal lagi yang agak mengagetkan dari artikel ini yaitu versi yang mencantumkan nama Rd. Aria Wiratanudatar.. yang entah apakah masih ada keterkaitan dengan silsilah keluarga.. wallahu..
Ini dia artikelnya diambil dari Sumber : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1667
Semua komunitas Maenpo Cimande sepakat
tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua mengarah kepada Abah Khaer
(penulisan ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dsb. Abah dalam bahasa
Indonesia berarti Eyang, atau dalam bahasa Inggris Great Grandfather).
Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu berasal
dan darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi utama yang sering
diperdebatkan, yaitu:
1. Versi Pertama
Ini adalah versi yang berkembang di
daerah Priangan Timur (terutama meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya)
dan juga Cianjur selatan. Berdasarkan versi yang ini, Abah Khaer belajar
Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang pedagang
(dari Bogor sekitar abad 17-abad 18) yang sering melakukan perjalanan
antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb. Dan dalam
perjalanan tersebut beliau sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya
menemukan sesuatu yang berharga.
Suatu waktu, ketika Abah Khaer pulang
dari berdagang, beliau tidak menemukan istrinya ada di rumah… padahal
saat itu sudah menjelang sore hari, dan ini bukan kebiasaan istrinya
meninggalkan rumah sampai sore. Beliau menunggu dan menunggu… sampai
merasa jengkel dan khawatir… jengkel karena perut lapar belum diisi dan
khawatir karena sampai menjelang tengah malam istrinya belum datang
juga.
Akhirnya tak lama kemudian istrinya
datang juga, hilang rasa khawatir… yang ada tinggal jengkel dan marah.
Abah Khaer bertanya kepada istrinya… “ti mana maneh?” (Dari mana kamu?)
tetapi tidak menunggu istrinya menjawab, melainkan langsung mau
menempeleng istrinya. Tetapi istrinya malah bisa menghindar dengan
indahnya, dan membuat Abah Khaer kehilangan keseimbangan. Ini membuat
Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus memukul… tetapi semakin
mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga istrinya menghindar.
Ini terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kecapean dan menyadari
kekhilafannya… dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus “ti mana
anjeun teh Nyi? Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin?” (Dari mana kamu? Lalu
dari mana kamu bisa “Main”?).
Akhirnya istrinya menjelaskan bahwa
ketika tadi pagi ia pergi ke sungai untuk mencuci dan mengambil air, ia
melihat Harimau berkelahi dengan 2 ekor monyet. (Salah satu monyet
memegang ranting pohon.) Saking indahnya perkelahian itu sampai-sampai
ia terkesima, dan memutuskan akan menonton sampai beres. Ia mencoba
mengingat semua gerakan baik itu dari Harimau maupun dari Monyet,
untungnya baik Harimau maupun Monyet banyak mengulang-ngulang gerakan
yang sama, dan itu mempermudah ia mengingat semua gerakan. Pertarungan
antara Harimau dan Monyet sendiri baru berakhir menjelang malam.
Setelah pertarungan itu selesai, ia
masih terkesima dan dibuat takjub oleh apa yang ditunjukan Harimau dan
Monyet tersebut. Akhirnya ia pun berlatih sendirian di pinggir sungai
sampai betul-betul menguasai semuanya (Hapal), dan itu menjelang tengah
malam.
Apa yang ia pakai ketika menghindar dari
serangan Abah Khaer, adalah apa yang ia dapat dari melihat pertarungan
antara Harimau dan Monyet itu. Saat itu juga, Abah Khaer meminta
istrinya mengajarkan beliau. Ia berpikir, 2 kepala yang mengingat lebih
baik daripada satu kepala. Ia takut apa yang istrinya ingat akan lupa.
Beliau berhenti berdagang dalam suatu waktu, untuk melatih semua gerakan
itu, dan baru berdagang kembali setelah merasa mahir. Diceritakan bahwa
beliau bisa mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan mulailah
beliau membangun reputasinya di dunia persilatan.
Jurus yang dilatih:
1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang “black magic” dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja dengan air kalau ketemu yang kaya gini. ).
2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan jurus ini, dianggap punah. Saya sendiri sempat melihatnya di Tasikmalaya, semoga beliau diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang berbakti sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang “black magic” dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja dengan air kalau ketemu yang kaya gini. ).
2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan jurus ini, dianggap punah. Saya sendiri sempat melihatnya di Tasikmalaya, semoga beliau diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang berbakti sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
Cerita di atas sebenarnya lebih
cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan kebenarannya, walaupun
jurus-jurusnya ada. Maenpo Cimande sendiri dibawa ke daerah Priangan
Timur dan Cianjur Selatan oleh pekerja-pekerja perkebunan teh. Hal yang
menarik adalah beberapa perguruan tua di daerah itu kalau ditanya
darimana belajar Maenpo Cimande selalu menjawab “ti indung” (dari ibu),
karena memang mitos itu mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan heran
kalau di daerah itu perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo Cimande
dan mengajarkannya kepada anak-anak atau cucu-cucunya, seperti halnya
istrinya Abah Khaer mengajarkan kepada Abah Khaer.
Perkembangannya Maenpo Cimande sendiri
sekarang di daerah tersebut sudah diajarkan bersama dengan aliran lain
(Cikalong, Madi, Kari, Sahbandar, dll). Beberapa tokoh yang sangat
disegani adalah K.H. Yusuf Todziri (sekitar akhir 1800 - awal 1900), Kiai Papak (perang kemerdekaan, komandannya Mamih Enny), Kiai Aji (pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan), Kiai Marzuk (Maenpo H. Marzuk, jaman penjajahan Belanda), dll.
2. Versi Kedua
Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah
seorang ahli maenpo dari Kampung Badui. Beliau dipercayai sebagai
keturunan Abah Bugis (Bugis di sini tidak merujuk kepada nama suku atau
daerah di Indonesia Tengah). Abah Bugis sendiri adalah salah seorang
Guru ilmu perang khusus dan kanuragaan untuk prajurit pilihan di
Kerajaan Padjadjaran dahulu kala. Kembali ke Badui, keberadaan Abah
Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan sesepuh-sesepuh Kampung Badui,
karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar dari daerah lain yang
datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan semuanya berakhir
dengan kematian.
Kematian karena pertarungan di tanah
Badui adalah merupakan “pengotoran” akan kesucian tanah Badui. Karena
itu, pimpinan Badui (biasa dipanggil Pu’un) meminta Abah Khaer untuk
meninggalkan Kampung Badui, dengan berat hati… Abah Khaer pun pergi
meninggalkan Kampung Badui dan bermukim di desa Cimande-Bogor. Tetapi,
untuk menjaga rahasia-rahasia Kampung Badui (terutama Badui dalam), Abah
Khaer diminta untuk membantah kalau dikatakan dia berasal dari Badui,
dan orang Badui (Badui dalam) pun semenjak itu diharamkan melatih Maenpo
mereka ke orang luar, jangankan melatih… menunjukan pun tidak boleh.
Satu hal lagi, Abah Khaer pun berjanji untuk “menghaluskan” Maenpo nya,
sehingga tidak ada lagi yang terbunuh dalam pertarungan, dan juga beliau
berjanji hanya akan memakai dan memanfaatkannya untuk kemanusiaan.
Oleh karena itu, dahulu beberapa
Guru-guru Cimande tua tidak akan menerima bayaran dari muridnya yang
berupa uang, lain halnya kalau mereka memberi barang… misal beras, ayam,
gula merah atau tembakau sebagai wujud bakti murid terhadap Guru.
Barang-barang itupun, oleh Guru tidak boleh dijual kembali untuk
diuangkan.
Versi kedua ini banyak diadopsi oleh
komunitas Maenpo dari daerah Jawa Barat bagian barat (Banten, Serang,
Sukabumi, Tangerang, dsb). Mereka juga mempercayai beberapa aliran tua
di sana awalnya dari Abah Khaer, misalnya Sera. Penca Sera berasal dari
Uwak Sera yang dikatakan sebagai salah seorang murid Abah Khaer (ada
yang mengatakan anak, tetapi paham ini bertentangan dengan paham lain
yang lebih tertulis). Penca Sera sendiri sayangnya sekarang diakui dan
dipatenkan di US oleh orang Indo-Belanda sebagai beladiri keluarga
mereka.
3. Versi Ketiga
Versi ketiga inilah yang “sedikit” ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan beliau di Kampung Tarik Kolot - Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Versi ketiga inilah yang “sedikit” ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan beliau di Kampung Tarik Kolot - Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Abah Khaer diceritakan sebagai murid dari Abah Buyut,
masalahnya dalam budaya Sunda istilah Buyut dipakai sebagaimana
“leluhur” dalam bahasa Indonesia. Jadi Abah Buyut sendiri merupakan
sebuah misteri terpisah, darimana beliau belajar Maenpo ini… apakah
hasil perenungan sendiri atau ada yang mengajari? Yang pasti, di desa
tersebut… tepatnya di Tanah Sareal terletak makam leluhur Maenpo Cimande
ini… Abah Buyut, Abah Rangga, Abah Khaer, dll.
Abah Khaer awalnya berprofesi sebagai
pedagang (kuda dan lainnya), sehingga sering bepergian ke beberapa
daerah, terutama Batavia. Saat itu perjalanan Bogor-Batavia tidak
semudah sekarang, bukan hanya perampok… tetapi juga Harimau, Macan Tutul
dan Macan Kumbang. Tantangan alam seperti itulah yang turut membentuk
beladiri yang dikuasai Abah Khaer ini. Disamping itu, di Batavia Abah
Khaer berkawan dan saling bertukar jurus dengan beberapa pendekar dari
China dan juga dari Sumatra. Dengan kualitas basic beladirinya
yang matang dari Guru yang benar (Abah Buyut), juga tempaan dari
tantangan alam dan keterbukaan menerima kelebihan dan masukan orang
lain, secara tidak sadar Abah Khaer sudah membentuk sebuah aliran yang
dasyat dan juga mengangkat namanya.
Saat itu (sekitar 1700-1800) di Cianjur berkuasa Bupati Rd. Aria Wiratanudatar VI (1776-1813, dikenal juga dengan nama Dalem Enoh). Sang Bupati mendengar kehebatan Abah Khaer, dan memintanya untuk tinggal di Cianjur dan bekerja sebagai “pamuk” (pamuk=guru beladiri) di lingkungan Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria Wiratanudatar VI memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom Abas
(ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut). Satu nama yang patut
dicatat di sini adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena
beliaulah yang merupakan salah satu murid terbaik Abah Khaer dan
nantinya memiliki cucu yang “menciptakan” aliran baru yang tak kalah
dasyat.
Sepeninggal Bupati Aria Wiratanudatar VI
(tahun 1813), Abah Khaer pergi dari Cianjur mengikuti Rd. Aria
Natanagara yang menjadi Bupati di Bogor. Mulai saat itulah beliau
tinggal di Kampung Tarik Kolot - Cimande sampai wafat (Tahun 1825,
usia tidak tercatat). Abah Khaer sendiri memiliki 5 orang anak, seperti
yang dapat dilihat di bawah ini. Mereka inilah dan murid-muridnya
sewaktu beliau bekerja di kabupaten yang menyebarkan Maenpo Cimande ke
seluruh Jawa Barat.
http://www.kupload.com/out.php/i5010_AbahKhaer.JPG
http://www.kupload.com/out.php/i5010_AbahKhaer.JPG
Dan ini adalah gambaran dari salah
seorang anak Rd. Aria Wiratanudatar VI, yaitu Aom Abas, yang setelah
menjadi Bupati di Limbangan Garut juga bergelar Rd. Aria Wiratanudatar.
http://www.kupload.com/out.php/i5009_4.jpg
http://www.kupload.com/out.php/i5009_4.jpg
Sayangnya image tentang Abah Khaer sendiri tidak ada, cuma digambarkan bahwa beliau: “selalu
berpakain kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan juga beliau selalu
memakai ikat kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika beliau
“ibing” di atas panggung penampilannya sangat expressif, dengan badan
yang tidak besar tetapi otot-otot yang berisi dan terlatih baik, ketika
“ibing” (menari) seperti tidak mengenal lelah. Terlihat bahwa dia sangat
menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya, langkahnya
ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya selaras dengan
kendang (”Nincak kana kendang” - istilah sunda). Penampilannya
betul-betul tidak bisa dilupakan dan terus diperbincangkan.”
(dari cerita/buku Pangeran Kornel, legenda dari Sumedang, dalam salah
satu bagian yang menceritakan kedatangan Abah Khaer ke Sumedang, aslinya
dalam bahasa Sunda, pengarang Rd Memed Sastradiprawira).
dari: http://radenandriansyah.blogdetik.com/2011/01/11/sejarah-silat-cimande/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar